Senin, 14 Januari 2008

PERUBAHAN SOSIAL DAN REVOLUSI

REVOLUSI DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh: Sindu Dwi Hartanto

Sztompka dalam Pandangan Revolusi: Puncak Perubahan Sosial
Sejarah revolusi memang menimbulkan suatu dampak yang sangat ekstrim. Demikian juga pendapat Sztompka tentang revolusi. Revolusi dianggapnya sebagai wujud dari perubahan sosial yang paling spektakuler, yang merupakan suatu pertanda perpecahan mendsar suatu proses histories, pembentukkan ulang masyarakat dari dalam, dan pembentukan ulang manusia. Revolusi tidak menyisakan apapun seperti keadaannya sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru. Di saat terjadi suatu perubahan sosial besar, suatu revolusi, masyarakat mengelami puncak agenya. Bagi Sztompka pada saat itulah terjadi meledaknya potensi transormasi dirinya sendiri.
Proses selanjutnya dari revolusi adalah suatu tatanan masyarakat yang seperti dihidupkan kembali, harapannya adalah dengan revolusi terjadi suatu perubahan yang lebih baik, dan masyarakat menemukan kesejahteraannya.
Menurut Sztompka revolusi merupakan suatu proses perubahan sosial yang paling tinggi dan menimbulkan dampak yang luar biasa jika dibandingkan dengan proses perubahan sosial yang lainnya, yaitu:
Pertama, menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, budaya, politik, organisasi social, kehidupan sehari-hari masyarakat, dan perubahan kepribadian manusianya.
Kedua, perubahan yang terjadi dan dihadilkan adalah perubahan yang menyentuh inti dari bangunan dan fungsi social masyarakatnya.
Ketiga, jika proses kesejarahan dianggap sebagai suatu proses yang relative lambat, maka proses revolusi merupakan suatu proses perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan bom atom.
Keempat, dalam seni pertunjukkan proses perubahan yang terjadi dalam bingkai revolusi merupakan suatu pertunjukkan perubahan yang paling menonjol, waktunya luar biasa cepat, ndan karena itu sangat mudah diingat.
Revolusi dapat membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan, perasaan hebat dan perkasa, keriangan dan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan, melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan. Revolusi terjadi secara tidak merata di sepanjang sejarah. Kebanyakan terjadi dalam periode modern. Revolusi Besar seperti di Inggris pada tahun 1640, revolusi perancis pada tahun 1789 yang melahirkan epos modern, revolusi komunis di Rusia pada tahun 1917 dan di Cina pada tahun 1949, dan revolusi yang anti komunis di Eropa Timur, dan Tengah pada tahun 1989 revolusi ini mengakhiri periode komunis.
Secara ringkas Sztompka juga memberikan kerangka definisi tentang revolusi yang dikerucutkan dari beberapa ahli seperti C. Johnson (1968), Gurr (1970), Giddens (1989) yang pada akhirnya menemukan tiga komponen utama yang mendasar dari revolusi yaitu:
Pertama, revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan multidimensional, menyentuh inti tatanan social. Jadi dalam pengertian ini perombakan dalam hokum dan administrasi, penggantian pemerintahan dan sebagainya tidak terhitung dalam sebagai revolusi.
Kedua, revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Dalam kebanyakan kasus, melibatkan pemberontakan petani dan pemberontakan urban. Menurut pengertian ini, meski suatu gerakan dapat menimbulkan perubahan paling dalam dan fundamental, tetapi jika dipaksakan oleh penguasa dari atas maka hal tersebut tidak terhitung sebagai revolusi. Begitu pula, jika terjadinya perubahan fundamental karena ditimbulkan oleh kecenderungan sosial spontan, tidak termasuk pengertian revolusi. Seperti yang terjadi di Jepang dengan restorasi Maiji, revolusi Attaturk di Turki, Reformasi Nasser di Mesir, Perestorikanya Gorbachev).
Ketiga, revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan. Walaupun ada proses revolusi di India oleh Ghandi atau gerakan sosial di Eropa Timur dan Tengah yang memaksa kematian komunisme. Seperti juga revolusi damai Solidaritas di Polandia dan revolusi Beludru di Ceko.
Sztompka juga memberikan penjelasan secara teoritis tentang pandangan teori-teori tentang revolusi. Ada empat aliran utama teori revolusi yaitu: teori tindakan, prikologi, struktural, dan politik. (1)Teori tindakan mamandang bahwa revolusi dapat diperhatikan melalui tindakan individu yang menandai revolusi, yang dimotori oleh Pitirin A. Sorokin (1925). (2) Teori psikologi mengabaikan bidang tindakan reflek atau naluriah dasar dan beralih ke bidang orientasi sikap dan motivasi. Teori yang paling berpengaruh diajukan oleh James Davis (1962) dan Ted Gurr (1970) dengan nama teori kerugian relatif. Revolusi disebabakan sindrom mental yang menyakitkan yang terbesar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang sehingga memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya. (3) Teori Struktural memusatkan perhatian pada tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Menurut teori struktural, revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dengan pemerintah. Revolusi dicari penyebabnya berdasarkan konflik antar kelas, antarkelompok. (4) Teori Politik melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang muncul dari proses yang khusus terjadi di bidang politik. Revolusi dilihat sebagai akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan perjuangan perebutan hegemoni antar pesaing untuk mengendalikan negara. Teori ini baik dikemukakan oleh Tilly (1978). Tilly yakin bahwa revolusi adalah kelanjutan proses politik dengan cara lain.

Wertheim dalam Pandangan Revolusi
Pandangan Wertheim tentang revolusi dapat dipahami menggunakan kacamata yang telah dipaparkan diatas berdasarkan tulisan Sztompka. Pandangan revolusi yang diungkapkan dapat dikatakan seiring dengan aliran atau teori struktural karena kalau kita lihat lebih jauh pandangan Wertheim lebih menempatkan kacamata struktur dan fungsi kelas-kelas antara masyarakat dan pemerintah sebagai suatu rangkaian revolusi. Wertheim juga sepakat bahwa revolusi adalah suatu bagian integral dari proses perubahan sosial. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatnya lebih lanjut seperti di bawah ini.
Menurut Wertheim bahwa revolusi selalu bertujuan untuk menumbangkan kekuasaan masyarakat atau susunan kekuasaan yang bercokol. Hal inilah yang membedakan revolusi dengan jenis gangguan ketertiban, pemberontakan, atau perebutan kekuasaan. Pandangan yang terakhir dianggap tidaklah memiliki kemauan untuk melakukan perubahan secara fundamental, melainkan hanya bertujuan untuk memberikan suatu pukulan terhadap para pemegang kekuasaan atau bahkan untuk mencopot mereka dari kekukasaan itu atau secara fisik menyingkirkan mereka.
Wertheim lebih berpendapat bahwa untuk membedakan revolusi dengan setiap jenis pemberontakan lainnya adalah kecenderungan sungguh-sungguh pada suatu perubahan fundamental dai susunan masyarakat yang berlaku. Dan sekalipun tujuan-tujuan subjektif itu tetap penting sekali, bahaya sebenarnya bagi kekuasaaan yang bercokol memberikan petunjuk yang tidak salah lagi bahwa suatu gerakan revolusioner sedang berlangsung.
Revolusi dapat dilaksanakan dengan berhasil bahkan sebaliknya, gagal. Gerakan revolusioner sebenarnya merupakan suatu gerakan yang harus benar-benar berarti dan memberikan suatu bahaya bagi kekuasaan yang sedang bercokol di masyarakat. Oleh karena itu suatu gerakan sosial itu harus mempunyai format tertentu. Pendapat Wertheim juga dikuatkan dengan kutipannya dari Barrington Moore yang menyatakan bahwa pemberotnakan dan bukan revolusi, hal itu merupakan suatu gerakan-gerakan yang tidak menghasilkan perubahan dalam struktur fundamental dari masyarakat.
Wertheim juga memberikan penjelasan tentang kontra-revolusi. Untuk menjelasakan proses kontra-revolusi pandangan Wertheim dikuatkan oleh Condorcet memberikan penjelasan bahwa kata revolusioner hanya dapat dipakai bagi revolusi-revolusi yang mem punyai tujuan pada sebuah kebebasan. Artinya, jika ada proses perubahan yang cepat dan dahsyat yang layaknya juga dapat disebut sebagai revolusi, sebenarnya itu bukanlah revolusi yang sebenarnya.
Menurut Wertheim konsekuensi dari pendapat di atas adalah bahwa pemberontakan yang mirip revolusi, namun tujuannya untuk memulihkan atau memperkuat tatanan sosial trandional, meski disebut kontra-revolusi. Jadi revolusi berhadapan dengan kontra-revolusi. Proses ini bertujuan pada restorasi dan pengokohan kekuasaan tradisional, yang mengandung arti penindasan terhadap golongan-golongan yang menghasratkan emansipasi. Pada proses ini usaha emansipasi dihambat atau bahkan dibalikkan. Itu didasarkan pada tujuan mendasar suatu kontra-revolusi ialah pemulihan dan pengokohan tatanan sosial tradisional, yang pada pengelihatan pertama justru merupakan kebalikan dari pada yang semestinya dilakukan oleh poses revolusioner.
Salah satu penjelasan terpenting menurut Wertheim untuk membedakan pengertian revolusi adalah bahwa hingga sejauh mana penggunaan kekerasan termasuk sebagai ciri khasnya yang pokok. Namun, pendapatnya terputus ketika melihat fenomena perubahan sosial di Tiongkok yang mana terjadi revolusi kebudayaan oleh Mao. Terjadinya revolusi yang dimotori oleh struktur kelas dari atas untuk merubah struktur kekuasaan merupakan suatu proses revolusi yang menggunakan kekerasan fisik yang sangat minimal.
Wertheim juga memberikan penjelasan panjang tentang tipe revolusi menjadi dua yaitu: revolusi nasional, dan revolusi sosial. Revolusi nasional disebutkan sebagai revolusi yang dilakukan secara bersama-sama oleh segenap elemen masyarakat di tingkat nasional, namun pengertian ini memiliki sifat rangkap yaitu: bagi yang memiliki kekuasaan revolusi naional itu adalah sebuah perang saudara, atau bahkan mungkin hanya sebuah pemberontakan; sedangkan bagi kaum pemberontak revolusi nasional itu sejak awal adalah sebuah perang kemerdekaan yang ditujukan kepada penjajahan asing. Untuk lebih jelasnya dapat diambil suatu logika seperti: kasus revolusi proletar di Rusia yang betapapun kaum buruh menjadi inti dan merupakan pasukan penyerbu gerakan revolusioner tidak pernah diabaikan, dan merupakan kekuatan revolusioner dan sekutu penting dari kaum buruh kota.
Sedangkan, revolusi sosial pada hakekatnya merupakan pemberotnakan dari satu kelas terhadap kelas lainnya. Dari satu kelas untuk kelas tersebut. Revolusi sosial terjadi apabila suatu lapisan sosial berkerjasama atas dasar solidaritas, berusaha merampas kekuasaan politik dan dominasi sosial dari lapisan yang berkuasa. Tipe revolusi sosial yang lebih tua, terkenal dari sejarah Barat, dicirikan-khaskan oleh suatu perjuangan borjuasi terhadap aristokrasi yang sedang berkuasa.
Pandangan lain Wertheim tentang revolusi adalah bagaimana ia menjelaskan tentang gambaran tentang ”revolusi dunia”. Pandangan revolusi dunia berasal dari Marx dan Engels yang menyadari bahwa keberhasilan revolusi komunis akan dapat berhasil jika perubahan-perubahan terjadi melampaui perbatasan-perbatasan nasional. Revolusi itu sekurang-kurangnya harus serentak terjadi di Inggris, Amerika, Jerman, dan Perancis, yaitu negeri-negeri di mana konflik kelas di atara borjuis dan ploretariat terlah cukup matang.



Eisteinstadt: Revolusi dan Perubahan Sosial
Pandangan Eisteinstadt tentang revolusi berawal dari penguatan pengetahuan para intelektual modern, yang secara khusus adalah intelektual sosiologi modern. Citra revolusi yang dikembangkan adalah terdiri dari beberapa komponen yaitu: adanya unsur kekerasan, proses pembaruan, dan perubahan menyeluruh. Proses revolusi dapat dimengerti sebagai suatu proses yang amat luar biasa, sangat besar, dan merupakan suatu gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan sosial apa pun. Revolusi diharapkan akan menciptakan suatu tatanan sosial yang lebih baru, lebih baik.
Revolusi terjadi karena berbagai anomali sosial atau ketimpangan yang sangat fundamental, terutama perjuangan antara elit; perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan sosial, maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti konslik kelas; dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organsiasi-organisasi politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar.
Secara lebih tegas dapat disebutkan bahwa revolusi harus memberikan dampak yang luas yaitu: 1) perubahan secara kekerasan terhadap rezim politik yang ada, yang disadari oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri; 2) penggantian elit politik atau kelas y ang seedang berkuasa dengan lainnya; 3) terjadi pula perubahan secara mendasar serluruh bidang kelembagaan utama – terutama dalam hubungan kelas dans istem ekonomi – yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek kehidupan sosial, pembaruan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisasi dan partisipasi dalam dunia politik; 4) terjadi pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau; 5) menghasilkan penguatan ideologis dan orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner.
Pandangan tersebut di atas memperlihatkan secara jelas bahwa proses revolusioner mengandaikan bhwa tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan atau melahirkan manusia baru.
Seperti juga Sztompka, Eisteinstadt juga memberikan gambaran tentang pendekatan utama sebagai prasyarat bagi revolusi. Menurutnya, pendekatan ini terbagi menjadi tiga sudut pandang yaitu: 1) teori psikologi yang mencoba menjelaskan revolusi berkenaan dengan motivasi-motivasi rakyat untuk terlibat dalam kekerasan politik atau bergabung dengan gerakan-gerakan oposisi. Fokus pendekatan ini ditujukan untuk menganalisa tahap-tahap atau kondisi ketidakpuasan yagn dapat menimbulkan ketegangan dan kekerasan politik, yang mungkin akan mengarah kepada suatu ledakan revolusioner. Pendekatan ini juga memperlihatkan persepsi keterampasan dari berbagai kelompok sebagai kondisi yang sangat menentukan bagi adanya ledakan revolusioner. 2) pandangan Struktural. Padangan ini mencoba melakukan indentifikasi kondisi struktural yang menunjukkan kontradiksi yang inheren dalam suatu rezim, terutama rezim-rezim kapitalis. 3) Pandangan Politik. Pandangan ini memberikan analisanya pada identifikasi kondisi dalam lingkungan politik, termasuk hubungannya dengan latar belakang sosial yang lebih luas yang menyebabkan revolusi.

Revolusi sebagai Gelombang Perubahan Sosial
Melihat konsepsi yang digambarkan di atas dapat disimpulkan bahwa proses perubahan sosial akan sejalan dengan perjalanan revolusi yang dilakukan dalam berbagai dimensinya. Gambaran revolusi yang diciptakan baik dalam bentuk reaksioner dengan kekerasan maupun minim kekerasan dapat menggerakan kondisi fundamental untuk melakukan perubahan. Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan struktur dan fungsi kelembagaan serta pengorganisasian sosial di masyarakat maupun perubahan persepsi psikologis (kekuatan moral).
Potensi munculnya revolusi dapat digambarkan seperti gelombang laut yang selalu silih berganti menghantam tepian pantai namun gelombang tersebut berlangsung sangat dahsyat dan menciptakan tsunami pada akhirnya. Gelombang menghantam bangunan fisik, menggantikan generasi kepemimpinan, mengubah struktur dan kelembagaan sosial masyarakatnya, dan mengembangkan inisiatif baru yang dianggap menjadi kebutuhan masyarakat pasca gelombang besar.
Selain berdampak dalam berbagai dimensi, revolusi juga bisa berdampak pada sistem kelas atau golongan yang secara sosial mempunyai kekuatan moral pengikat. Perubahan juga bisa dilakukan dalam lingkungan mikro hingga tingkat makro. Di tingkatan mikro, revolusi bergerak untuk melakukan perubahan dalam dimensi sosial, kelembagaan dalam kelas tertentu, dan bisa jadi tanpa melibatkan golongan atau kelas yang lainnya. Namun, potensi perubahan akan menjalar pada kelompok atau kelas lainnya. Revolusi akan berdampak pada kelompok sosial hingga nasional, bahkan dalam dunia global.

Tidak ada komentar: